![]() |
Cerpen Anak Jurus Jitu Neyla dimuat di Harian Bojonegoro |
Jurus
Jitu Neyla
Oleh : Karunia
Sylviany Sambas
Hari ini hari
minggu. Ayah duduk di teras. Beliau sedang membaca koran minggu pagi. Walaupun
hari minggu, biasanya ayah jarang ada di rumah.
Aku hanya
memperhatikan ayah dari balik pintu kamar. Takut kalau ayah mengajakku ikut
membaca juga. Walaupun sudah kelas 3 SD aku masih kurang lancar membaca. Sudah
berkali-kali aku mencobanya, tapi tetap tidak bisa. Aku jadi malas belajar
lagi. Kalau Bu Ningrum menyuruh membaca, aku pasti meminta bantuan Neyla, teman
sebangkuku, untuk membacakannya dengan pelan. Jadi aku tinggal mengikutinya
saja.
“Gita
… sini, Sayang,” panggil ayah dari ruang tamu. “Ada cerita anak yang bagus,
kamu pasti suka.”
“Aduh,
bagaimana ini? Ayah tidak boleh tahu kalau aku belum lancar membaca.” Aku
ketakutan.
“Sayang
…,” panggil ayah sekali lagi.
Perlahan
aku mendekati ayah. Aduh, aku pasti ketahuan. Badanku gemetaran. Tiba-tiba handphone ayah berdering.
“Hallo,
Pak Hermanto. Baik, Pak. Saya akan segera ke sana.”
Syukurlah,
ternyata ada tugas kantor yang harus ayah serahkan hari ini. Aku selamat!
“Gita
teruskan membacanya ya. Ayah pergi dulu. Kalau ada apa-apa hubungi saja ya,
Sayang,” ujar ayah sambil tersenyum.
Aku
mengangguk. Hari minggu di rumah sendirian bukan hal baru. Ibu meninggal waktu
aku masih kelas 1 SD.
Kubuka
koran yang diletakkan ayah di atas meja. “Pu … t … ri ya … ng hi … hi … lang.
Ah, susah sekali membaca,” keluhku. Baru sampai di judul saja aku sudah menyerah.
Bagaimana ini?
Setelah
meminta izin pada ayah lewat telpon, aku pergi ke rumah Neyla. Sudah lama ia
mau mengajariku membaca, tapi aku selalu menolak. Aku memang tidak sabaran
mengeja kalimat yang panjang-panjang itu.
Kali
ini aku harus belajar membaca. Aku tak mau terus-terusan sembunyi dari ayah.
Beliau pasti sedih kalau tahu aku belum lancar membaca.
“Permisi,
selamat siang ….”
“Ayo, masuk, Ta.
Wah, tumben kamu main ke rumahku,” ujar Neyla.
“Silakan duduk,
Ta.” Neyla tersenyum. “Ada apa nih, Ta?”
“Ka … mu mau
mengajariku membaca, La?” tanyaku pelan.
Neyla menatap
mataku.
“Beneran, Ta? Kemarin-kemarin
kamu selalu nolak kalau kuajak belajar membaca.”
Aku menunduk.
“Ehm, jangan
sedih, Ta. Aku mau kok. Yuk!” Neyla merangkul tanganku menuju kamarnya.
Neyla dengan
sabar mengajariku membaca. Aku hampir putus asa. Neyla tetap memberiku semangat.
“Kamu pasti
bisa, Ta. Ayo dicoba lagi!”
Aku kembali
membaca.
“Aku ke belakang
dulu ya, Ta. Kamu terusin aja bacanya.” Aku mengangguk.
Kulihat ada
majalah di atas meja belajar Neyla. Aku mendekatinya. Ada gambar kelinci biru
yang lucu.
Perlahan kubolak-balik
halaman majalah itu. Gambar-gambarnya menarik. Ada salah satu cerita bergambar
kodok hijau yang sedang mengambil kacamata di dasar telaga. “Ko … mal dan Ko …
di.”
Tiba-tiba pintu
kamar terbuka. Neyla masuk membawa sekaleng biskuit dan jus jeruk.
“Yuk, cicipin dulu. Nanti kita sambung lagi.”
“Pelan-pelan aja,
Ta. Nanti juga lancar kok. Aku dulu lancar membaca karena baca majalah yang
kamu pegang itu. Ceritanya bagus-bagus, lho.”
Aku tersenyum.
“Senang ya, La kalau kita lancar membaca.”
“Kamu baca aja
cerita yang gambarnya kamu senangi. Pasti cepat lancar.”
“Beneran, La?”
Neyla
menggangguk sambil tersenyum. “Coba aja.”
Aku mulai
membaca. Walaupun agak terbata-bata, akhirnya aku berhasil menyelesaikan separuh
cerita.
“Wah, keren La.
Kodi itu kodok baik hati. Beda banget sama saudaranya, Komal. Gimana lanjutan
ceritanya ya?”
“Ayo, Ta.
Diterusin. Biar kamu tau gimana akhir ceritanya!” Neyla makin semangat.
Akhirnya aku berhasil menyelesaikan cerita itu.
“Ceritanya bagus
banget, Ta.”
“Gimana jurus jitu
ala Neyla? Keren kan?” Neyla mencolek hidungku.
Aku tersenyum
ceria. Hari minggu depan aku tak perlu sembunyi lagi. Ayah pasti senang.