![]() |
Kisah Cepi Capung
Oleh Karunia
Sylviany Sambas
Cepi Capung
terbang dengan riang.
Syuutt
... syuutt ...
Ia mengitari
pepohonan kecil. Sesekali berhenti di atas ranting.
"Hei,
Cepi! Tolong ajarkan aku terbang yang baik. Aku selalu menabrak sesuatu,"
keluh Pungi, si Capung Kecil.
Cepi menoleh
lalu mendengus.
"Mengajarimu?
Tak usah, ya! Aku tak akan mengajari sainganku. Akulah sang pemenang
kontes!"
Cepi
tersenyum sinis lalu kembali beratraksi di angkasa.
Senyumnya
mengembang lebih lebar.
Pungi hanya
terdiam melihat sambutan Cepi. Pantas saja tak ada teman yang mau dekat
dengannya.
Awalnya,
teman-teman sudah melarang Pungi mendekati Cepi. Tapi, Pungi tak ingin
mendengar ucapan itu. Ia tetap meminta bantuan Cepi. Cepi itu terkenal sebagai
penerbang ulung di negeri mereka.
Kontes
terbang negeri capung tinggal dua hari lagi.
Pungi makin
rajin berlatih. Dia mencoba berkali-kali. Tapi tetap saja sering menabrak
sesuatu.
"Mungkin
aku terbang terlalu kencang." Pungi memperlambat laju terbangnya.
Tapi angin
tiba-tiba bertiup agak keras.
Syuutt
... dan ...
brukk!
Karena terbang
terlalu pelan, angin jadi mudah mengayun tubuhnya. Pungi pun jatuh di atas daun
talas. Untunglah, sayapnya tidak cedera.
"Pungi,
sudahlah! Kamu bisa ikut lain kali." Cepi terbang rendah.
Pungi menggeleng.
Ia tetap ingin ikut kontes terbang kali ini.
"Aku
tidak boleh menyerah.”
Bangsa
capung hanya hidup selama beberapa minggu. Pungi tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan.
“Masih ada
waktu."
Tekad Pungi
sangat kuat. Ia kembali mencoba.
“Aku harus
bisa! Aku harus bisa!” ucapnya berkali-kali.
Ringi
melihat usaha Pungi. Ringi adalah sahabat Pungi.
"Kamu
hanya kurang fokus, Pungi," ucap Ringi.
"Coba
tarik napas dalam. Kemudian pikirkan satu tujuan di depan."
Pungi
terdiam sejenak. Mungkin Ringi benar. Karena bola matanya mampu melihat ke
segala arah, ia sering terfokus pada beberapa nyamuk yang beterbangan. Itu
sebabnya konsentrasi jadi buyar.
“Kamu hanya
perlu melakukan yang terbaik. Hasil akhir itu adalah bonus dari usahamu,” kata
Ringi lagi.
Ah, benar.
Pungi mencoba terbang.
Tapi, hujan
mulai turun rintik-rintik. Lama-lama jadi deras dan disertai angin kencang.
Pungi dan
Ringi berlindung di bawah sebatang pohon.
“Tolooonggg
....”
Itu suara
Cepi!
“Kita harus
menolongnya! Mungkin telah terjadi sesuatu.”
“Nanti saja,
Pungi! Hujan masih deras. Angin juga kencang. Sayapmu terlalu lemah,” cegah
Ringi.
“Kamu bisa
jatuh!” Ringi masih mencoba mencegah Pungi.
Tapi tekad
Pungi sudah bulat. Dia terbang pelan di bawah daun, berusaha menghindari tetes
air hujan.
Itu Cepi!
Ia
tergeletak lemah di atas tanah. Sayapnya basah dan lengket ke tanah. Pungi
mempercepat laju terbangnya. Olala, ia menabrak sebuah batang kecil dan ikut
jatuh di dekat Cepi.
Sementara
itu di dekat mereka seekor katak sedang mengintai.
Gawat!
Bisa-bisa mereka jadi santapan si Katak.
Dengan
segenap tenaga Pungi berusaha menarik tubuh Cepi. Tapi ... oh ternyata sayap
Pungi juga basah.
Tes!
Air dari
daun keladi jatuh dan menyentuh sayap Pungi. Sayapnya jadi lekat ke tanah.
Pungi berusaha mengangkat sayap, tapi terasa berat sekali.
Katak
terlihat semakin mendekat. Bila dia menjulurkan lidah, maka ...
Di saat
genting itu, terlihat sekumpulan capung. Mereka dipimpin oleh Ringi.
Beramai-ramai mereka menarik tubuh Cepi dan Pungi dari tanah basah. Syukurlah,
hujan sudah reda. Bangsa capung masih sanggup terbang di bawah hujan
rintik-rintik.
Cepi gagal
ikut kontes. Sayapnya terluka. Sementara Pungi masih bisa ikut karena sayapnya
selamat. Ia hanya perlu mengeringkannya.
Ada berita
bahagia. Cepi tetap bisa ikut kontes. Ia terpilih sebagai juri.
"Karena
sudah dua kali menang kontes, kamu pasti bisa menilai yang terbaik,” ujar
panitia lomba.
Cepi
tersenyun senang. Ia mengucapkan terima kasih pada teman-temannya. Tak lupa
juga meminta maaf karena sikapnya kemarin. Bila tidak ada teman-temannya, Cepi
tak bisa membayangkan saat ini ia sudah berada di dalam perut si Katak.
(***)
Silakan klik
Cara Mengirim Cerpen Anak ke Harian Lampung Post Minggu untuk Sahabat Khansa yang ingin
mengirim karya.