Cahya
Jarak Cinta
Oleh Karunia Sylviany Sambas
Gubuk
ini kembali riuh. Setiap sore, selepas waktu Asar. Dan aku senantiasa tak bosan
ikut mengatur rehal bersama Nenek.
“Nenek
...” desisku tertahan.
Nenek menoleh sambil
tersenyum. Aku tertegun. Wajah nenek bersih dan berbinar.
Aku menggeleng lemah
lalu melanjutkan pekerjaanku. Murid-murid kecil nenek akan datang.
Sebentar saja,
bocah-bocah kecil mulai memadati ruangan berukuran dua kali dua meter itu. Saat-saat
seperti ini aku selalu menyebut gubuk ini dengan nama gubuk kumpul bocah cahya.
Meski agak berisik, aku
senang. Gubuk ini seperti bercahaya. Sinar-sinar memancar melalui
celah-celahnya. Ah, nenek. Aku sungguh terpukau pada lakumu.
Rehal-rehal yang kutata
tadi sudah ada pemiliknya masing-masing. Malah ada beberapa yang harus antri.
Untuk sementara, mereka memangku kitab. Kebanyakan masih tahap iqra’.
![]() |
Sumber gambar : http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/al-quran-dan-iptek.jpg |
Aku ikut membantu
nenek. Sesekali kurik beliau. Nenek sedang membimbing seorang bocah. Dengan sabar
ia membimbingnya. Kuperkirakan bocah itu berusia empat tahun.
“Wahyu.” Kusebut nama
anak itu. Ia menoleh dan menatapku. Nenek sudah selesai mengajarnya. Saat ini,
ia sedang mengulang bacaan.
“Sini Kakak ajarin,”
tawarku.
Wahyu menyodorkan iqra’nya.
Pelan namun pasti ia mulai mengeja huruf.
“Wahyu rajin, ya,
ngajinya,” ucapku ketika Wahyu pamit.
Langit jingga mulai
merona di arah barat.
Wahyu mengangguk
mantap. “Wahyu mau kasih mahkota cahaya buat Bunda,” katanya polos.
“Insya Allah,” kata
Nenek sambil mengelus kepala Wahyu.
![]() |
Sumber gambar : http://amiruddinthamrin.com/wp-content/uploads/2014/03/al-quran-kalam-allah.jpg |
Aku tersentak. Ada yang
menghangat di pelupuk mata. Usiaku tentu sudah lebih dewasa dari Wahyu, tapi ...
pernahkah aku berpikir seperti bocah empat tahun itu. Aku sungguh malu karena
tertampar ucapan polosnya.
“Bunda Wahyu sudah tiada. Wahyu piatu sejak
lahir,” ucap Nenek.
Meski Wahyu dan
bundanya terpisah ruang dan waktu, tapi jarak cinta itu tetap terhubung. Terangkai
manis dari bumi menuju langit. Harusnya aku juga begitu, kan.
“Bunda ... Ayah ... aku
merindukan kalian,” bisikku dalam lantunan doa. (***)
Tulisan
ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.com bekerja sama dengan LovRinz Publishing