Kisah Cepi Capung di Lampung Post


Cerpen Anak Kisah Cepi Capung dimuat di Harian Lampung Post edisi Minggu, 25 Oktober 2015


dimuat di Harian Lampung Post edisi Minggu, 25 Oktober 2015


Kisah Cepi Capung
Oleh: Karunia Sylviany Sambas

Cepi Capung terbang dengan riang.

Syuutt ... syuutt ...

Ia mengitari pepohonan kecil. Sesekali berhenti di atas ranting.

"Hei, Cepi! Tolong ajarkan aku terbang yang baik. Aku selalu menabrak sesuatu," keluh Pungi, si Capung Kecil.

Cepi menoleh lalu mendengus.

"Mengajarimu? Tak usah, ya! Aku tak akan mengajari sainganku. Akulah sang pemenang kontes!"

Cepi tersenyum sinis lalu kembali beratraksi di angkasa.

Senyumnya mengembang lebih lebar.

Pungi hanya terdiam melihat sambutan Cepi. Pantas saja tak ada teman yang mau dekat dengannya.

Awalnya, teman-teman sudah melarang Pungi mendekati Cepi. Tapi, Pungi tak ingin mendengar ucapan itu. Ia tetap meminta bantuan Cepi. Cepi itu terkenal sebagai penerbang ulung di negeri mereka.

Kontes terbang negeri capung tinggal dua hari lagi.

Pungi makin rajin berlatih. Dia mencoba berkali-kali. Tapi tetap saja sering menabrak sesuatu.

"Mungkin aku terbang terlalu kencang." Pungi memperlambat laju terbangnya.

Tapi angin tiba-tiba bertiup agak keras.

Syuutt ... dan ... brukk!

Karena terbang terlalu pelan, angin jadi mudah mengayun tubuhnya. Pungi pun jatuh di atas daun talas. Untunglah, sayapnya tidak cedera.

"Pungi, sudahlah! Kamu bisa ikut lain kali." Cepi terbang rendah.

Pungi menggeleng. Ia tetap ingin ikut kontes terbang kali ini.

"Aku tidak boleh menyerah.”

Bangsa capung hanya hidup selama beberapa minggu. Pungi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

“Masih ada waktu."

Tekad Pungi sangat kuat. Ia kembali mencoba.

“Aku harus bisa! Aku harus bisa!” ucapnya berkali-kali.

Ringi melihat usaha Pungi. Ringi adalah sahabat Pungi.

"Kamu hanya kurang fokus, Pungi," ucap Ringi.

"Coba tarik napas dalam. Kemudian pikirkan satu tujuan di depan."

Pungi terdiam sejenak. Mungkin Ringi benar. Karena bola matanya mampu melihat ke segala arah, ia sering terfokus pada beberapa nyamuk yang beterbangan. Itu sebabnya konsentrasi jadi buyar.

“Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik. Hasil akhir itu adalah bonus dari usahamu,” kata Ringi lagi.

Ah, benar. Pungi mencoba terbang.

Tapi, hujan mulai turun rintik-rintik. Lama-lama jadi deras dan disertai angin kencang.

Pungi dan Ringi berlindung di bawah sebatang pohon.

“Tolooonggg ....”

Itu suara Cepi!

“Kita harus menolongnya! Mungkin telah terjadi sesuatu.”

“Nanti saja, Pungi! Hujan masih deras. Angin juga kencang. Sayapmu terlalu lemah,” cegah Ringi.

“Kamu bisa jatuh!” Ringi masih mencoba mencegah Pungi.

Tapi tekad Pungi sudah bulat. Dia terbang pelan di bawah daun, berusaha menghindari tetes air hujan.

Itu Cepi!

Ia tergeletak lemah di atas tanah. Sayapnya basah dan lengket ke tanah. Pungi mempercepat laju terbangnya. Olala, ia menabrak sebuah batang kecil dan ikut jatuh di dekat Cepi.

Sementara itu di dekat mereka seekor katak sedang mengintai.

Gawat! Bisa-bisa mereka jadi santapan si Katak.

Dengan segenap tenaga Pungi berusaha menarik tubuh Cepi. Tapi ... oh ternyata sayap Pungi juga basah.

Tes!

Air dari daun keladi jatuh dan menyentuh sayap Pungi. Sayapnya jadi lekat ke tanah. Pungi berusaha mengangkat sayap, tapi terasa berat sekali.

Katak terlihat semakin mendekat. Bila dia menjulurkan lidah, maka ...

Di saat genting itu, terlihat sekumpulan capung. Mereka dipimpin oleh Ringi. Beramai-ramai mereka menarik tubuh Cepi dan Pungi dari tanah basah. Syukurlah, hujan sudah reda. Bangsa capung masih sanggup terbang di bawah hujan rintik-rintik.

Cepi gagal ikut kontes. Sayapnya terluka. Sementara Pungi masih bisa ikut karena sayapnya selamat. Ia hanya perlu mengeringkannya.

Ada berita bahagia. Cepi tetap bisa ikut kontes. Ia terpilih sebagai juri.

"Karena sudah dua kali menang kontes, kamu pasti bisa menilai yang terbaik,” ujar panitia lomba.

Cepi tersenyun senang. Ia mengucapkan terima kasih pada teman-temannya. Tak lupa juga meminta maaf karena sikapnya kemarin. Bila tidak ada teman-temannya, Cepi tak bisa membayangkan saat ini ia sudah berada di dalam perut si Katak. (***)


Silakan klik Cara Mengirim Cerpen Anak ke Harian Lampung Post Minggu untuk Sahabat Khansa yang ingin mengirim karya.
Karunia Sylviany Sambas
Karunia Sylviany Sambas Saya adalah seorang tenaga kesehatan yang suka menulis, membaca dan mempelajari hal-hal baru. Alamat surel: karuniasylvianysambas@gmail.com Selain di sini, saya juga menulis di Rekam Jejak Sang Pemimpi, Ketika Jejakku Menginspirasimu, Berlayar & Menambatkan Impian, Meniti Jembatan Impian, Jejak Inspirasi Sylviany, Cakrawala Baca Sylvia

5 komentar untuk "Kisah Cepi Capung di Lampung Post"

  1. Balasan
    1. hihihi. ^_^
      Terima kasih banyak buat kunjungannya, Mbak.

      Hapus
  2. Bagus dan seru, Mbak. Syuut syuuut. Hihi. Dasar si cepi. Semoga esok bisa nyusul kirim tulisan ke Lampung post. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah.

      Terima kasih buat apresiasinya, Dek.;)
      Semoga lekas kirim dan ikutan dimuat, ya.

      Hapus
  3. MasyaAllah tulisannya. Keren banget. Judulnya menarik tulisanyajuga dikemas dengan apik.

    BalasHapus

Terima kasih buat kunjungannya. Semoga menginspirasi.
Silakan tinggalkan komentar di bawah postingan ini.

Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.