Kisah Khadijah binti Khuwailid
Dia adalah Ummahatul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al-Quraisyiah al-Asadiyah. Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah bin Jundub. Beliau dilahirkan di Mekah tahun 68 sebelum hijrah. Ia berasal dari keluarga bangsawan Quraisy. Khadijah dididik dengan akhlak mulia dan terhormat sebagai seorang wanita sehingga tumbuh dengan karakter yang kuat, cerdas, dan menjaga kehormatan.
Ummahatul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid
Nasab Khadijah bertemu dengan nasab Muhammad pada kakek kelima, Qushay. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Muhammad, orang pertama yang menerima dakwah Islam, juga merupakan wanita yang paling dicintai beliau.
1. Kisah Sebelum Menikah dengan Rasulullah
Khadijah di Masa Jahiliah
Di masa jahiliah, sebelum kenal dengan Rasulullah, Khadijah dikenal sebagai seorang wanita yang kaya dan seorang pedagang besar. Ia bekerja sama dengan laki-laki untuk bagi hasil barang dagangannya.
Hari-hari terus berlalu, hingga beliau mendengar kisah tentang seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah. Seorang laki-laki yang berakhlak mulia. Jujur lagi tepercaya.
Khadijah mengirim seseorang untuk menawarkan kerja sama dagang menuju Syam. Ia berikan barang kualitas super, yang tidak dipercayakan kepada pedagang lainnya.
Ketika Khadijah dan Muhammad telah sepakat bekerja sama, Khadijah menyertakan seorang budak laki-lakinya yang bernama Maisaroh untuk membawa barang dagangan itu hingga ke Syam.
Kemudian Muhammad mulai menjual barang dagangannya dan membeli barang lainnya yang Khadijah inginkan. Sesampainya di Mekah, beliau menemui Khadijah dengan hasil keuntungan dagangnya. Kemudian Khadijah membeli barang bawaannya. Beliau pun mendapatkan untung berkali lipat.
Maisaroh mengabarkan tentang kemuliaan akhlak Muhammad bin Abdullah dan sifat-sifatnya yang istimewa, yang ia lihat saat safar bersama.
Membuka Hati Untuk Laki-Laki Mulia
Sebelumnya Khadijah telah menikah dua kali. Pertama menikah dengan Atiq bin A’id al-Makhzumi, kemudian ia meninggal. Yang kedua, dengan Abu Halah bin Nabbasy at-Tamimi, yang juga meninggal. Namun dari Abu Halah, ia mendapatkan seorang putra bernama Hind bin Abu Halah.
Setelah itu, Khadijah menutup hatinya dari semua laki-laki. Ia tidak ingin lagi menikah dan memutuskan hidup sendiri. Namun, cerita-cerita tentang Muhammad yang ia dengar dari orang-orang dan dari Maisaroh menggoyahkan keteguhannya.
Khadijah begitu kagum dengan sosok laki-laki yang begitu mulia akhlaknya. Tidak hanya mendengar, ia pun membuktikan dan “mengujinya” dengan mengajak kerja sama dalam masalah uang. Semakin tampaklah amanah dan sifat-sifat mulia lainnya.
Khadijah adalah wanita yang cerdas, ia tidak tergesa- gesa. Emosinya stabil sehingga ia bisa mengetahui kabar tentang Muhammad, tanpa membuatnya merasa malu atau jatuh harga dirinya.
Singkat cerita, terjadilah pernikahan antara dua orang yang mulia, Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid. Maharnya adalah 500 dirham. Rumah tangga keduanya berlangsung kurang lebih selama 25 tahun. Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Kedua pasangan mulia ini terus bersama hingga Khadijah wafat di usia 65 tahun dan Muhammad berusia 50 tahun. Ini adalah masa terlama kebersamaan Rasulullah bersama istrinya, dibanding dengan istri-istri yang lain.
Rasulullah tidak menikahi wanita lain saat bersama Khadijah. Hal itu karena kemuliaan yang dimiliki Khadijah. Ia juga memberi beliau putra dan putri. Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan si bungsu Fatimah.
2. Kisah Setelah Menikah dengan Rasulullah
Allah Swt. menganugerahkan Ummahatul Mukminin, Khadijah, hati dan ruh yang suci, serta cahaya keimanan sehingga ia begitu siap ketika kebaikan datang menghampirinya. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama:
“Bacalah dengan ((menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” [QS. Al Alaq: 1].
Rasulullah segera pulang dalam keadaan takut dan gemetar. Kemudian beliau bertemu dengan istrinya. “Selimuti aku. Selimuti aku,” serunya.
Khadijah menyelimutinya sampai rasa cemasnya sirna.
Rasulullah berkata, “Khadijah, apa yang terjadi padaku? Aku khawatir terjadi apa-apa pada diriku.”
Khadijah menanggapi dengan kalimat yang sangat berarti bagi psikis Rasulullah. Ia berkata, “Tidak. Bergembiralah! Demi Allah. Dia tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, Engkau adalah seorang yang menyambung silaturahmi, jujur, memikul kesulitan orang lain, menanggung orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan mendukung usaha-usaha kebenaran.”
Kemudian ia mengajak Rasulullah menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Di masa jahiliah, Waraqah adalah seorang laki-laki Nasrani. Ia menulis Injil dalam Bahasa Arab. Ia memberi kabar baik kepada Rasulullah. Waraqah bercerita bahwa apa yang baru saja beliau jumpai adalah Jibril yang juga datang menemui Musa.
Dalam keadaan yang aneh dan membingungkan itu, Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Tentu hal ini semakin meringankan beban psikis Rasulullah. Rasulullah tidak pernah mendengar sesuatu pun dari Khadijah yang membuat beliau tidak suka. Tidak mendustakannya dan membuatnya bersedih.
Melalui wanita mulia ini, Allah Swt. berikan banyak jalan keluar dan kemudahan untuk beliau. Saat ia pulang mendakwahkan risalahnya, Khadijah selalu membuat jiwanya kembali teguh dan bersemangat. Meringankan dan membenarkannya di saat orang-orang mendustakannya.
Tidak terbayangkan keadaan tersebut dan sulitnya merintis dakwah di tengah orang- orang yang mengingkari. Tidak hanya mengingkari, mereka juga memusuhi dan merespon dakwah dengan gangguan. Namun Rasulullah memiliki istri seperti Khadijah. Sosok yang mampu melapangkan dan tidak pernah mengecewakannya.
Membantu Dakwah Islam
Bantuan Ummahatul Mukminin terhadap dakwah amatlah banyak. Sebagai orang pertama yang beriman, tentu itu sudah cukup sebagai keutamaan beliau. Setelah memeluk Islam, beliau mengorbankan hidupnya. Kehidupan yang tenang dan nyaman, berubah menjadi kehidupan yang menantang dan penuh gangguan.
Kehidupan dakwah, jihad, dan pengepungan. Keadaan tersebut sama sekali tidak mengurangi cintanya kepada suaminya. Bahkan, bertambah cinta kepada sang suami. Bertambah cinta pula terhadap agama yang ia bawa. Ia senantiasa mendampingi dan mendukungnya mencapai tujuan yang diperintahkan Allah Swt.
Ketika orang-orang Quraisy memboikot dan mengasingkan bani Hasyim ke pinggiran Mekah, Khadijah tidak ragu pergi bersama suaminya. Waktu pengasingan dan boikot tersebut bukanlah waktu yang singkat. Bani Hasyim begitu menderita, kekurangan makanan, sampai-sampai mereka makan dedaunan karena tidak ada makanan. Mereka seolah-olah akan mati kelaparan.
Bayangkan! Quraisy memboikot mereka dengan tidak membeli atau menjual sesuatu kepada mereka selama tiga tahun. Penderitaan seperti apa yang akan terjadi kalau demikian keadaannya?
Dalam keadaan tersebut, Khadijah yang bukan bagian dari Bani Hasyim, tetap menemani sang suami. Padahal ia dulunya wanita kaya dan berkecukupan. Jalan dakwah memang tidak mudah sehingga pasangan hidup orang-orang yang meniti jalan dakwah pun adalah orang-orang yang tangguh.
Pengorbanan Khadijah Semasa Hidup
Suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut dan hendak berdiri di depan pintu. Namun Rasulullah meminta Khadijah agar tetap di tempatnya.
Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tidak punya.
Kemudian Rasulullah mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.
Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tidak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.
“Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku?” tanya Rasulullah dengan lembut.
“Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku?” lanjut Rasulullah tidak kuasa melihat istrinya menangis.
“Wahai suamiku. Wahai Rasulullah. Bukan itu yang kutangiskan,” jawab Khadijah.
Khadijah berkata lagi, “Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itu pun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah.”
“Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyeberangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam wahai Rasulullah,” kata Khadijah.
Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasulullah pun semakin terpukul.
Wafatnya sang Ummahatul Mukminin
Khadijah meninggal dunia dua bulan atau sebulan lima belas hari atau tiga hari— ada tiga pendapat dalam hal ini–setelah meninggalnya Abu Thalib (pada tahun meninggalnya Abu Thalib). Khadijah meninggal dunia pada bulan Ramadan tahun kesepuluh dari kenabian. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Waqidi, Khadijah meninggal dunia dalam usia 65 tahun dan inilah pendapat yang paling masyhur.
Khadijah meninggal dunia tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah (sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Bari, 7:224) dan meninggalnya sebelum peristiwa Isra’-Mi’raj.
Khadijah meninggal dunia ketika Rasulullah berusia 50 tahun.
Meninggalnya Khadijah ini dekat dengan meninggalnya pamannya sehingga membawa kesedihan yang besar bagi Rasulullah, tahun ini pun disebut ‘Aamul Hazn (tahun kesedihan).
Dalam Kitab Al-Busyro, karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani (1946-2004) diceritakan:
Ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Beliau berkata kepada Rasulullah, “Aku memohon maaf kepadamu, ya, Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.”
Rasulullah menjawab, “Jauh dari itu, ya, Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya.”
Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik, “Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.”
Mendengar itu Rasulullah saw berkata, “Wahai Khadijah, Allah Swt. menitipkan salam kepadamu dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.”
Ummahatul Mukminin, Khadijah, pun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan suami tercinta, Rasulullah. Didekapnya sang istri dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia beliau dan semua orang yang ada di situ.
Saat itu, Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan.
Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya, “Untuk siapa sajakah kain kafan itu wahai Jibril?”
“Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau, ya, Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan,” jawab Jibril.
Kemudian Jibril berhenti berkata dan menangis.
Rasulullah bertanya, “Kenapa, ya, Jibril? “Cucumu yang satu, Husain (putra Sayyidina Ali) tidak memiliki kafan. Dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tidak dimandikan,” sahut Jibril.
Rasulullah saw berkata di dekat jasad Khadijah, “Wahai Khadijah istriku, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu.”
“Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?”
Rasulullah semakin sedih mengenang istrinya semasa hidup. Seluruh kekayaan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Namun ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasadnya.
Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumal dengan 83 tambalan di antaranya dengan kulit kayu. Rasulullah kemudian berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, Ya Ilahi Robbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku ketika orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah.”