Kabar Baik dari Neas Wanimbo, Satu Perpustakaan Buka Pintu Harapan Seluruh Pedalaman

“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru.”
— Ki Hajar Dewantara
Pada usia enam tahun, Neas Wanimbo belajar huruf dari selembar kertas tipis. Pinggirnya sudah sobek dan warnanya memudar. Setiap pagi ia duduk di dekat jendela kelas kayu yang merekah, menunggu suara langkah guru yang mungkin datang, mungkin tidak. Kadang ia dan teman-teman pulang tanpa satu huruf pun dipelajari.

Tidak jarang gurunya meminta ia mengajari teman sebaya karena harus berpindah ke kelas lain. Bukan karena ia paling pintar, tetapi karena ia sedikit lebih cepat mengenali bentuk huruf.
Di antara hari-hari seperti itu, Neas kecil menyimpan satu tanya yang tidak pernah ia ucapkan, “Bagaimana rasanya membaca buku bersampul keras dengan halaman yang utuh?”
Ia tidak tahu bahwa pertanyaan kecil itu kelak menjadi api yang membangun sebuah gerakan.

Ketika dewasa dan kembali ke kampungnya di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, Neas melihat anak-anak duduk dengan buku lusuh yang sama seperti miliknya dulu. Mereka menunggu guru yang tidak selalu hadir. Menunggu hari berganti tanpa pasti apakah pelajaran tiba atau hilang begitu saja di jalan.

Saat itu Neas sadar bahwa yang ia alami sebagai anak bukanlah kejadian tunggal.

Data Badan Pusat Statistik 2024 mencatat buta aksara di Papua Pegunungan mencapai 27,47%, tertinggi di Indonesia. Namun, bagi Neas, angka itu bukan statistik. Ia mengenali wajah-wajah di balik angka-angka itu, yakni teman-temannya yang berhenti sekolah sebelum sempat mengenal huruf.

Sesak itu datang lagi, rasa yang dulu ia kenal baik. Dan dari sesak itu, lahirlah tekad.
“Pengalaman ini tidak boleh terulang. Anak-anak tidak boleh menunggu sepanjang hidup hanya untuk satu guru,” katanya suatu kali.
Neas tidak menunggu lebih lama.

Dari Anak Kampung Menuju Ruang Belajar Baru


Pada usia 12 tahun, Neas meninggalkan Tangma menuju Jayapura untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Ia tumbuh sebagai pemuda suku Dani yang membawa memori ruang kelas sederhana ke kota besar. Beriring waktu, ia menempuh perkuliahan di Tanri Abeng University dengan beasiswa penuh, aktif di kegiatan internasional, dan belajar bahwa pendidikan membuka pintu yang tidak pernah terbuka baginya saat kecil.

Setiap kali pulang ke kampung, pemandangan itu masih sama. Anak-anak duduk menunggu, buku yang sama lusuhnya, guru yang kadang datang, kadang tidak.
“Kalau bukan saya, siapa lagi?” pertanyaan itu mengiringinya pulang pergi selama bertahun-tahun.
Pada 2017, ia mulai merancang taman baca sederhana. Tahun berikutnya, ia membuka donasi buku pertama. Ia menamai gerakan itu Hano Wene, yang dalam bahasa Wamena berarti kabar baik.
“Kami memilih nama itu karena kami ingin setiap langkah menjadi kabar baik bagi anak-anak yang tumbuh dalam keterbatasan yang dulu saya alami,” ucap Neas.

Ruang Kosong yang Disulap Menjadi Perpustakaan

Perpustakaan pertama lahir dari satu ruang kosong di SD YPPGI di Tangma. Lantainya kayu. Dindingnya masih menyisakan bekas paku poster. Namun, ketika kardus-kardus buku itu tiba, ruang itu berubah menjadi tempat tumbuhnya harapan yang berdiri di atas papan.

Buku-buku itu datang dari berbagai kota: Sorong, Sarmi, Lanny Jaya, Kaimana. Ada novel remaja, ensiklopedia tipis, buku berhitung, buku rohani, dan komik sains.

Neas menuturkan dengan tawa kecil, “Saya dan teman-teman buka donasi di media sosial. Kadang kalau dapat tiket pergi dari program, saya pakai bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk mengirimkan buku ke Papua.”

Di kampung, warga ikut menyortir dan menata. Anak-anak membantu membersihkan rak. Perpustakaan itu kecil, tetapi menjadi tempat pertama yang membuat banyak anak mengenal huruf dari halaman yang tidak sobek.

Saat hujan datang dan listrik padam, mereka tetap membaca dengan pelita. Bila guru tidak hadir, perpustakaan itu tetap buka. Itulah pertama kalinya Neas melihat kampungnya memiliki ruang belajar yang menunggu anak-anak, bukan sebaliknya.

Gerakan Kecil yang Menjadi Jantung Harapan

Sejak ruang kecil itu berdiri, perpustakaan Hano Wene membesar. Bukan karena gedung, bukan karena dana besar, melainkan karena orang-orang yang menyediakan hati.

Relawan datang dari berbagai provinsi di Indonesia Timur, bahkan dari luar negeri. Mereka mengumpulkan buku, menyortir, membuat konten edukasi, mengajar anak-anak, hingga ikut naik perahu dan truk untuk membawa buku ke kampung-kampung.
Neas selalu berkata, “Yang membuat saya bangga, relawan kami tidak digerakkan oleh imbalan, tetapi oleh kepedulian.”
Tim inti Hano Wene bertugas mengatur strategi, logistik, dan komunikasi dengan pemerintah maupun lembaga mitra. Mereka adalah bagian yang membuat gerakan bertahan melewati cuaca, biaya pengiriman, dan medan yang sulit.

Bagi Neas, relawan dan tim inti adalah jembatan antara mimpi yang dulu hanya ia simpan dalam hati dengan kenyataan yang kini bisa disentuh anak-anak dengan kedua tangan.

Perjuangan Mengirimkan Satu Buku


Mengirimkan buku ke Papua Pegunungan adalah perjalanan penuh kejutan.

Kapal bisa batal berangkat karena cuaca memburuk. Rute darat bisa tertutup lumpur akibat hujan. Truk bisa tertahan karena akses izin. Dan biaya logistik bisa dua kali lipat dari harga buku itu sendiri. Namun, setiap hambatan itu selalu dijawab dengan satu hal, yakni kolaborasi.

Gereja memberi tempat untuk menumpang penyimpanan sementara.
Kepala suku membantu membuka akses jalan.
Donatur menutup kekurangan ongkos kirim.
Mahasiswa ikut mengumpulkan buku di kota.
“Pelajaran terbesar saya adalah bahwa kolaborasi bukan tentang menyatukan orang sempurna, tetapi menyatukan orang yang mau menyediakan hati,” kata Neas.
Dari banyak hati itulah, satu buku bisa sampai ke tangan satu anak.


Dari Ruang Kecil ke Jejaring Besar


Seiring waktu, Hano Wene yang punya tagline #SetiapAnakHarusBisaBaca tidak lagi berdiri hanya di Tangma.

Gerakan itu kini merambah Wamena, Yalimo, Lanny Jaya, Jayapura, Kaimana, hingga Mamberamo. Setiap cabang membawa wajahnya masing-masing, tetapi misi mereka sama, yakni menghadirkan akses baca yang layak, ruang belajar yang aman, dan harapan baru.

Hano Wene bukan gerakan raksasa. Ia bertumbuh karena anak muda lokal yang kembali mengangkat kampungnya sendiri. Karena ibu-ibu yang mau menjaga rak buku. Karena pemuda yang rela menempuh dua hari jalan kaki untuk membawa kardus buku.

Dari situ, gerakan ini menjadi bukti bahwa pendidikan tidak harus menunggu gedung besar untuk berdiri. Cukup satu ruang yang dijaga bersama.

Apresiasi SATU Indonesia Awards, Titik Penguat

Pada 2024, kerja Neas Wanimbo mendapat apresiasi SATU Indonesia Awards bidang pendidikan untuk Provinsi Papua Pegunungan. Pengakuan itu bukan akhir, melainkan penguat arah.

Bagi Neas, dampak terbesar dari penghargaan ini adalah meningkatnya kepercayaan. Masyarakat, mitra, dan lembaga lain yang sebelumnya ragu kini bersedia membuka pintu.
“Banyak kolaborasi baru muncul karena mereka melihat gerakan kami divalidasi oleh pihak independen,” katanya.
Relawan pun merasakan hal yang sama. Mereka melihat bahwa setiap tenaga yang mereka berikan berupa satu kardus buku, satu jam mengajar, dan satu unggahan konten, benar-benar berarti. Dampaknya nyata. Hingga kini Hano Wene berhasil:
  • meningkatkan minat baca 20% di Tangma
  • mengurangi angka buta huruf hingga 65%
  • mendirikan 11 taman baca
  • mendukung 5 guru sukarelawan
  • membantu 500+ anak dengan alat tulis dan pakaian layak
  • menyediakan buku paket untuk 5 sekolah
  • menyalurkan buku rohani dan buku Islam ke sekolah Alkitab dan pesantren di Wamena
Bagi Neas, pencapaian itu bukan angka, melainkan anak-anak yang kini membuka halaman buku dengan mata berbinar.

Kembali sebagai Anak Kampung


Saat memperkenalkan Hano Wene kepada kepala suku dan pemimpin gereja pada 2018, Neas tidak datang sebagai pendiri yayasan. Ia datang sebagai anak Tangma yang membawa mimpi kecil, yakni menghadirkan ruang belajar yang dulu tidak pernah ia miliki.

Neas duduk, lebih banyak mendengar daripada berbicara. Ia juga menjelaskan dengan bahasa paling sederhana bahwa buku bisa menjadi pintu. Bahwa satu perpustakaan kecil bisa mengubah cara anak melihat dunia. Kepercayaan itu tumbuh bukan karena presentasi, tetapi karena konsistensi.
“Kepercayaan di kampung bukan sesuatu yang diminta, tetapi sesuatu yang diperlihatkan lewat hadir, terlibat, dan bertahan,” katanya.

Kabar Baik Itu Kembali kepada Pemiliknya


Suatu sore, beberapa orang anak duduk di rerumputan. Mereka membuka sebuah buku. Sampulnya keras. Halamannya rapi. Tidak ada satu pun yang sobek.

Neas memperhatikan dari kejauhan. Ia diam. Di dadanya mengalir sesuatu yang hangat, perasaan yang sulit disimpan dalam kata-kata.

Dulu, di jendela kelas yang retak, ia hanya bisa membayangkan memiliki buku seperti itu.

Kini, impian kecil itu berpindah ke tangan yang lebih kecil, tetapi memegang harapan yang jauh lebih besar.

Anak itu mengangkat wajahnya sebentar, tersenyum, lalu kembali membaca.

Dalam bisik yang hampir tidak terdengar, Neas berkata,“Kabar baik.”

Kabar baik itu bukan lagi sesuatu yang ia tunggu. Kabar baik itu telah berpindah tangan dan tidak akan hilang lagi. (*)

Sumber:

  • Akun Instagram @hanowene
  • Akun Instagram @neaswanimbo
  • BPS, 2024
  • E-Booklet 15th SIA 2024
  • Gilang, K. 2024. Angka Buta Aksara di Papua Pegunungan pada 2024 Jadi yang Tertinggi di Indonesia. https://data.goodstats.id/statistic/angka-buta-aksara-di-papua-pegunungan-pada-2024-jadi-yang-tertinggi-di-indonesia-RaVy6. Diakses pada 18 November 2025.
  • Iriawan. 2024. Policy Paper Pembangunan Bidang Pendidikan di Provinsi Papua Tahun 2023. Bappeda Provinsi Papua
  • Wawancara via WhatsApp dengan Neas Wanimbo

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url